Beranda » Kolom Anggota » Pemberdayaan Nelayan Tradisional dengan Wajah Humanis

Pemberdayaan Nelayan Tradisional dengan Wajah Humanis

Pelajari Arsip

 | 
free counters

PEMBERDAYAAN NELAYAN TRADISIONAL DENGAN WAJAH HUMANIS

Oleh : Abdul Fatah

Ketua Umum HMI Cabang Jember Komisariat Hukum Unej Periode 2006-2007

 

Pertama kali ketika istilah nelayan tradisional dan kampung nelayan tradisional kita dengar maka kesan yang muncul pertama kali adalah kesan miskin dan kumuh. Hal tersebut tidaklah salah karena pada dasarnya hal itu menjadi fakta yang dapat kita nemui di masyarakat nelayan tradisonal. Sampai dengan sekarang nelayan tradisional merupakan komunitas masyarakat yang belum beranjak dari kemiskinan.

Kondisi yang selama ini membelit para nelayan tradisional, paling tidak disebabkan oleh 2 (dua) faktor yang dominan yaitu faktor kebiasaan nelayan dan belum adanya kebijakan pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah yang memihak kepada nelayan tradisional. Pertama, kebiasaan nelayan. Nelayan tradisional merupakan nelayan dengan segala keterbatasan, baik pengetahuan maupun kemampuan permodalan. Kegiatan tunggal nelayan tradisional adalah adalah mencari ikan di laut. Kegiatan tunggal ini menjadi alasan pembenar bagi nelayan tradisional untuk hidup dengan kondisi apa adanya dengan status kemiskinan, karena tidak ada keterampilan lain yang dimiliki. Dimana keterampilan lain itu seharusnya menjadi subtitusi bagi nelayan tradisional ketika masa paceklik yaitu masa dimana tidak dimungkinkannya nelayan tradisonal untuk melaut. Tradisi panen besar pada waktu tertentu yang tidak disertai budaya menyimpan (saving), oleh para nelayan tradisional menyebabkan pada saat masa peceklik neleyan tradisional kembali pada kemiskinan.

Kedua, kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada nelayan tradisional. Permasalahan ini sebenarnya adalah permasalahan klasik. Kecenderungan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang hanya mengambil untung dari nelayan dengan kedok retribusi dan tidak memberikan jaminan hukum bagi nelayan ini menjadi alasan utama kenapa nelayan tidak beranjak dari kemiskinan dan menjadikan nelayan tradisional tingkat kesejahteraannya cukup rendah. Sebagai bukti belum berpihaknya kebijakan pemerintah kepada nelayan tradisional adalah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2010. Di dalam APBD Jatim 2010 tersebut masih memberikan porsi yang sangat besar disektor kelautan dan perikanan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dari alokasi pendapatan sektor kelautan dan perikanan sebesar Rp. 11,17 milyar dengan komposisi 99,64%-nya itu berasal dari retribusi daerah dan sisanya 0,35% berasal dari pendapatan lain yang sah. Dengan alokasi anggaran pendapatan yang demikian men-indikasikan pembebanan retribusi daerah manjadi pintu pokok untuk menggaet PAD. Sehingga implikasinya retribusi tersebut sangat menyengsarakan nelayan dan bahkan dapat menenggelamkan para nelayan. Nelayan tidak tenggelam oleh tingginya ombak atau derasnya badai, akan tetapi nelayan tenggelam oleh tingginya nilai retribusi yang dibebankan.

Pada dasarnya kebijakan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang tetap menerapkan adanya retribusi bagi nelayan ini adalah kontra produksif dengan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagaimana kita ketahui bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad beberapa waktu pernah mengemukakan menghapus 100% retribusi bagi nelayan. Kebijakan lain pemerintah yang sangat merugikan nelayan tradisional adalah begitu mudahnya pemerintah memberikan ijin kepada para investor untuk melakukan usaha di kampung nelayan. Sehingga akibatnya terjadi reklamasi pantai besar-besaran misalnya di Kabupaten Gresik ada reklamasi pantai dengan luas daerah kurang lebih 14 hektar, tepatnya di Desa Roomo Kecamatan Manyar yang dilakukan oleh PT Petrokimia Gresik (PG), serta pembuangan limbah ke pantai sebagimana yang terjadi di Gunung Pitu Banyuwangi. Di mana perusahaan penambangan emas membuang limbahnya ke teluk Muncar.

Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh nelayan tradisional sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah baik itu pusat maupun daerah untuk mengatasinya. Bagaimanapun nelayan tradisional merupakan pelaku ekonomi nyata dan utama di masyarakat dan mempunyai hak konstitusional yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh pemerintah misalnya hak untuk hidup, hak pendidikan bagi anak nelayan dan mencari penghidupan yang layak.

Pemberdayaan nelayan tradisional secara humanis bisa menjadi salah satu opsi solusi yang dapat diambil perannya oleh pemerintah. Pemberdayaan ini lebih didasarkan pada pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan nelayan tradisional di sisi pengetahuan dan budaya.

Pemberdayaan ekonomi dapat dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah dengan memberikan bantuan permodalan. Permodalan ini dapat berupa modal untuk keperluan melaut dan permodalan untuk usaha subtitusi yang dapat dilakukan para istri nelayan dengan membuka usaha misalnya membuat krupuk udang, trasi, dan usaha pengeringan ikan. Kegiatan pemberdayaan ekonomi untuk nelayan ini telah dilakukan di nelayan tradisional Bau-Bau Sulawesi Tenggara. Keberhasilan di Bau-Bau seharusnya menjadi pilot projec bagi pemerintah untuk melakukannya di daerah-daerah lain khususnya Jawa Timur.

Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah juga adalah jaminan keselamatan kerja bagi nelayan. Jaminan tersebut dapat berupa dengan pemberian Asuransi Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Dari 3 (tiga) juta nelayan di Indonesia, baru 6 ribu nelayan saja yang sudah mendapatkan asuransi (Kompas, 13 Juli 2010). Harapan besarnya kejadian kecelakaan di laut yang dialami oleh nelayan cepat untuk direspon dengan pencairan klaim asuransi tersebut, sehingga kejadian yang menimpah teman-teman nelayan di Kendal Jawa Tengah tidak terjadi lagi di daerah-daerah lain.

Pemberdayaan pengetahuan, budaya konsumtif di masyarakat nelayan harus memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah seyogyanya melakukan penyadaran kepada para nelayan untuk melakukan saving dari hasil penangkapan. Sehingga pada masa paceklik nelayan masih mempunyai perbekalan. Di samping itu pemerintah harus memberikan akses yang terbuka bagi pendidikan anak-anak nelayan. Tidak kalah pentingnya juga adalah akses untuk memperoleh jaminan kesehatan. Karena bagaimanapun ini menjadi anomali tingkat putus sekolah anak di masyarakat nelayan sangat tinggi, padahal pada dasarnya anak-anak nelayan adalah anak-anak yang cerdas dan tingkat orang sakit di kampung nelayan juga cukup tinggi. Nenek moyang kita adalah pelaut dan nelayanlah yang tetap mentradisikan kebudayaan pesisir.

Tentang Penulis :
Abdul Fatah adalah Alumnus Fakultas Hukum Univ. Jember dan Pemerhati Isu Pesisi


Tinggalkan komentar